a. Sumber Dana/Harta Baitul Mal
Syaikh Taqiyyuddin An Nabhani dalam kitabnya Al-Nizhamu al-Iqtishadi fi
al-Islam (1990) telah menjelaskan sumber-sumber pemasukan bagi Baitul
Mal dan kaidah-kaidah pengelolaan hartanya. Sumber-sumber tetap bagi
Baitul Mal menurutnya adalah: fai’, ghanimah/anfal, kharaj, jizyah,
pemasukan dari harta milik umum, pemasukan dari harta milik negara,
usyuur, khumus dari rikaz, tambang, serta harta zakat (An Nabhani,
1990).
Hanya saja, harta zakat diletakkan pada kas khusus Baitul Mal, dan
tidak diberikan selain untuk delapan ashnaf (kelompok) yang telah
disebutkan di dalam Al Qur’an. Tidak sedikit pun dari harta zakat
tersebut boleh diberikan kepada selain delapan ashnaf tersebut, baik
untuk urusan negara, maupun urusan umat.
Imam (Khalifah) boleh saja memberikan harta zakat tersebut berdasarkan
pendapat dan ijtihadnya kepada siapa saja dari kalangan delapan ashnaf
tersebut. Imam (Khalifah) juga berhak untuk memberikan harta tersebut
kepada satu ashnaf atau lebih, atau membagikannya kepada mereka
semuanya.
Begitu pula pemasukan harta dari hak milik umum. Harta itu diletakkan
pada Diwan khusus Baitul Mal, dan tidak boleh dicampuradukkan dengan
yang lain. Sebab harta tersebut menjadi hak milik seluruh kaum
muslimin, yang diberikan oleh Khalifah sesuai dengan kemaslahatan kaum
muslimin yang menjadi pandangan dan ijtihadnya berdasarkan hukum-hukum
syara’.
Sedangkan harta-harta yang lain, yang merupakan hak Baitul Mal,
diletakkan secara bercampur pada Baitul Mal dengan harta yang lain,
serta dibelanjakan untuk urusan negara dan urusan umat, juga delapan
ashnaf, dan apa saja yang penting menurut pandangan negara.
Apabila harta-harta ini cukup untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
rakyat, maka cukuplah dengan harta tersebut. Apabila tidak, maka negara
berhak mewajibkan pajak (dharibah) kepada seluruh kaum muslimin, untuk
menunaikan tuntutan dari pelayanan urusan umat.
Yang juga termasuk dalam kategori sumber pemasukan yang diletakkan di
dalam Baitul Mal dan dibelanjakan untuk kepentingan rakyat, adalah
harta yang diperoleh oleh seorang ‘asyir dari kafir harbi dan mu’ahid
(usyuur), harta-harta yang diperoleh dari hak milik umum atau hak milik
negara, dan harta-harta waris dari orang yang tidak mempunyai ahli
waris.
Apabila hak-hak Baitul Mal tersebut lebih untuk membayar tanggungannya,
misalnya harta yang ada melebihi belanja yang dituntut dari Baitul Mal,
maka harus diteliti terlebih dahulu : Apabila kelebihan tersebut
berasal dari harta fai’, maka kelebihan tersebut diberikan kepada
rakyat dalam bentuk pemberian. Apabila kelebihan tersebut berasal dari
harta jizyah dan kharaj, Baitul Mal akan menahan harta tersebut untuk
disalurkan pada kejadian-kejadian yang menimpa kaum muslimin, dan
Baitul Mal tidak akan membebaskan jizyah dan kharaj tersebut dari orang
yang wajib membayarnya. Sebab, hukum syara’ mewajibkan jizyah dari
orang yang mampu, dan mewajibkan kharaj dari tanah berdasarkan kadar
kandungan tanahnya. Apabila kelebihan tersebut dari zakat, maka
kelebihan tersebut harus disimpan di dalam Baitul Mal hingga ditemukan
delapan ashnaf yang mendapatkan Diwan harta tersebut. Maka, ketika
ditemukan kelebihan tersebut akan dibagikan kepada yang bersangkutan.
Apabila kelebihan tersebut berasal dari harta yang diwajibkan kepada
kaum muslimin, maka kewajiban tersebut dihentikan dari mereka, dan
mereka dibebaskan dari pembayaran tersebut (An Nabhani, 1990).